Cerpen: Pemuja Rahasia





Secret admirer

“Aku belajar dari waktu..
Untuk mulai memujamu..
& mengagumi indahmu..”


Tulisan disecarik kertas biru itu aku temukan tepat di atas meja kerjaku. Tak ada nama dan alamat pengirim yang jelas dan baru kali ini aku mendapatkannya. “Apa maksud si pengirim surat ini dan siapa pengirimnya ya?”, batinku.

Aku Putri. Sudah kurang lebih setahun ini aku bekerja disalah satu perusahaan diMedan. Aku ini anak tunggal yang tinggal bersama kedua orang tuaku. Kata mereka, aku ini anak yang mandiri dan sangat penurut, namun sedikit manja, tapi aku tau kapan saatnya dan dengan siapa sifat manjaku muncul.

Akhir-akhir ini kedua orang tuaku sering menyuruhku membawa someone yang sedang dekat denganku dan malah mereka menyuruhku untuk segera menikah, melihat umurku yang sudah cukup matang sebagai seorang wanita. Akupun menghela nafas panjang, “Sabar ya paa, maa”, batinku.

Aku memang tak begitu memikirkan untuk memiliki seorang kekasih atau bahkan calon pendamping. Toh jodoh ada ditangan Tuhan dan Dia lah yang lebih tau mana yang terbaik untukku. Siapa, kapan dan dimana aku akan dipertemukan dengan seseorang itu sudah diatur dengan indah olehNya, itu pernyataanku.

“Selamat pagi tuan Putri”, sapa Vino, salah satu teman kantorku. “Pagi juga Vin. Tumben jam segini baru muncul. Kesiangan ya?“, tanyanya. “Iya, tadi malem ada kerjaan dikit, hehe”, jawabnya. “Kerjaan apa emang?”, tanya Putri lagi. “Ada deh. Pekerjaan yang sangat penting. Eh, kok jadi ngobrol gini. Udah ah, mari bekerjaa”, ujar Vino semangat. “Dasar kamu Vin”.

Vino adalah teman terdekatku selama bekerja dikantor. Saat SMA kami satu sekolah, namun tidak begitu saling mengenal. Sejak masuk perguruan tinggi dia pindah ke Bandung. Tapi setelah itu dia kembali lagi ke Medan dan kebetulan diterima bekerja ditempat yang sama denganku. Dia juga anak tunggal, sama sepertiku. Orang tuaku juga sudah mengenal baik Vino.


Saat makan siang, ku ceritakan kejadian pagi tadi pada Vino.

“Vin, aku nemuin ini dimeja kerjaku tadi pagi”, sambil kuberikan kertas itu kepada Vino, “Wah, puitis banget ini orang. Kamu tau siapa yang ngirim?”, tanyanya. Sambil memukul bahu Vino aku pun menjawab pertanyaannya, “Yee.. Kamu liat kan kalo disitu tuh gak ada nama atau alamat pengirimnya”.

“Oh iya ya. Berarti kalo ada nama pengirim dan alamatnya, surat ini bakalan kamu bales ya Put?”, tanyanya lagi. “Mmm.. Ya gak juga sih. Tapi kalo pun iya, aku pasti bakalan minta bantuan kamu untuk buatin kata-katanya, hehe”, ledekku. “Haha.. Mana bisa aku bikin puisi sebagus itu. Ntar yang ada malah kabur tuh yang baca”, canda Vino. “Bisa aja kamu Vin”, aku pun tertawa.

Malam ini ku terduduk ditempat tidurku, sambil menatapi sebait tulisan puitis disepucuk kertas misterius pagi tadi. “Apa si pengirim salah kirim ya? Atau lupa nulis nama juga alamatnya? Atau jangan-jangan.. Aaah, sudahlah”, aku pun meletakkan kertas itu dimeja kecil di samping tempat tidurku lalu terlelap.

Esok paginya, Vino sudah menjemputku tepat di depan gerbang rumahku.

“Pagi Vino, sorry lama”, sapaku. “No problemo Putrii. Udah sarapan?”, tanyaku. “Belum sih”. “Ntar kita mampir dulu ya buat beli sarapan. Aku yang traktir deh”, ajakku. “Ok deh”, jawabku semangat.

Aku dan Vino sama-sama memiliki saat yang paling pahit dimasa lalu. Kedua “X” kami itu sudah bahagia dengan pasangannya masing-masing. Tapi ya sudahlah, saat itu tak perlu diingat-ingat lagi dan bila perlu dibuang jauh-jauh sampai hancur berkeping-keping kemudian menjadi abu yang terbawa angin, khayalku. Yang terpenting saat ini adalah menjalani masa sekarang dengan harapan segala sesuatunya bisa berjalan dengan baik, harapku.


Aku kembali kemeja kerjaku untuk melanjutkan pekerjaan yang tersisa. Tapi kali ini ada yang berbeda yang terletak disamping netbook-ku. Sesuatu yang terlihat indah bewarna merah. “Mawar merah? Kenapa bisa ada disini”, sambil kulihat sekeliling, dan ku ambil kartu ucapan yang tertempel dibunga itu.

“Rona wajahmu..
seakan menyempurnakan indahnya parasmu.

& senyum manismu..

membahagiakan setiap orang yang memandangnya, selalu..

Termasuk aku, pengagummu..”


Perasaanku saat itu bercampur aduk. Haruskah aku senang? Atau mungkin biasa saja? Tapi yang jelas, aku sangat tertarik dengan mawar merah ini.

“Vino..”, panggilku teriak. Vino pun menghentikan langkahnya yang menuju parkiran. “Coba liat aku bawa apa”, tanyaku berbasa-basi. “Tas cewek warna hitam?”, jawabnya bercanda. “Iihh.. Yang inii..”, tunjukku. “Bunga mawar merah. Terus?”, jawabnya lalu bersikap garing. “Kok kamunya biasa gitu sih.. Ditanya dong dari siapa”, ujarku agak kesal. “Oh iya. Siapakah gerangan pengirim bunga mawar merah itu tuan Putrii?”, tanyanya bak pangeran dari negri antah berantah. “Haha.. Kamu bercanda mulu ah Vin. Ini lho dari yang ngirim puisi kemarin. Bagus ya”, puji ku, berharap Vino juga demikian. “Iya iya bagus. Tapi lebih bagus lagi kalo kita cepat-cepat pulang ya, keburu hujan”, jawab Vino seakan mengabaikan. Aku pun langsung mengiyakan ajakan Vino, setelah melihat keadaan diluar, terlihat langit yang memang sudah sangat mendung.

Aku tak tau apa maksud dari si pengirim puisi-puisi ini. Apakah hanya sampai disini atau akan berlanjut dan seseorang itu akan mengatakan apa yang dirasakannya selama ini kepadaku? Entahlah. Yang jelas, sepertinya aku mulai menyukainya. Biarpun aku tak tau atau bahkan belum bisa menebak siapa sebenarnya dia, pikirku.


“Vin, jalan yuk”, via telepon aku megajak Vino. “Mau kemana Put?’, tanyanya. “Kemana aja, yang penting jalan. Bosen aku dirumah sendiri”, keluhku. “Yaudah, tungguin ya. Saya segera datang tuan Putri”, candaku. “Hehe.. Oke pangeranku”, candaku balik.

Sesampainya ditempat makan yang diusulkan Vino itu, ternyata adalah tempat makan favoritku semasa SMA.

“Kamu juga suka kesini Vin?”, tanyaku penasaran. “Iya. Tempat ngumpul favoritku waktu SMA. Kamu juga sering kesinikan waktu SMA dulu?”, tanya Vino balik. “Iya, kok kamu tau?”, tanyaku heran. “Ya tau dong. Kan dulu aku sering banget perhatiin kamu”. Hening sejenak. “Eh, yaudah-yaudah, kamu mau pesen apa Put?”, sambung Vino. Namun, sempat terlihat ekspresi wajah Vino yang seperti mengatakan “aduh, keceplosan”. Tapi entahlah, mungkin hanya perasaanku saja. Aku hanya tertawa dan sedikit bingung juga terhadap sikapnya itu, “Ada-ada aja kamu Vin”.

“Vin, aku jadi penasaran deh sama si pengirim puisi itu”, ceritaku pada Vino. “Penasaran gimana Put?”, tanyanya. “Ya penasaraan. Aku jadi ingin mengetahui siapa orang itu. Apakah aku tidak kenal sama sekali dengan orang itu atau mingkin aku sangat mengenalnya? Bisa jadi kan Vin”, jelasku. “Iya sih Put. Yaudah, kamu tunggu aja apa kejutan dari orang misterius itu selanjutnya. Siapa tau kan ntar dia bakal bikin gebrakan”, candanya dan tertawa. Aku pun tertawa, “Emangnya meja digebrak”.

“Vin, kamu kenapa belum punya pacar?”, tanyaku serius. Namun, Vino hanya tersenyum. “Kenapa kamu malah senyum? Itu bukan jawaban Vinoo..”, ujarku. “Mungkin sebentar lagi Put. Aku belum siap aja untuk menyatakan perasaanku sama seseorang itu”, jelasnya. “Oh.. Berarti udah ada ya. Pasti cewek itu cantik, hehe. Ntar kenalin ke aku ya Vin”, pintaku. “Dia sangat cantik dan pasti aku bakal kenalin ke kamu, pasti itu”, jelas Vino yang meyakinkan.


Tapi, jantungku seakan berdetak lebih kencang saat mendengar penjelasan Vino itu. “Ya Tuhaan.. Kenapa dengan jantungku ini. Apakah aku merasa cemburu? Gak mungkin. Tapi aku juga tak akan mengelak jika itu memang benar”, batinku.

Sepulang dari tempat makan itu, Vino mampir sebentar kerumahku untuk sekedar berpamitan pada orang tuaku karena telah mengantarkanku, hal yang selalu dilakukannya jika pergi bersamaku. “Ini Putrinya sudah dianter sampai dirumah dengan selamat ya om, tante”, ujarnya sambil tersenyum dan menyalami orang tuaku. “Permisi ya om, tante”. “Iya. Makasih nak Vino”. “Hati-hati”, jawab mama yang dilanjutkan oleh papa.

Aku dan Vino telah sampai dikantor. Seperti biasanya, aku mampir dulu ke toilet, sekedar merapikan rambut dan pakaianku.

Sekembalinya aku dari toilet, tanpa sengaja aku melihat Vino baru saja keluar dari ruang kerjaku, seperti terburu-buru. “Apa yang dilakukannya?”, batinku.

Kemudian, aku memeriksa keadaan meja kerjaku, ternyata ada secarik kertas biru lengkap dengan bunga mawar merah, persis seperti mawar yang ada dimeja kerjaku 2 hari lalu. Aku pun membaca isi kertas itu.

“Tak perlu khawatir..
Akan ada waktunya untukku meyatakan ini semua..

& aku berjanji..

Tak akan ada lagi kisah yang pahit..

Untuk hari ini, esok, & seterusnya..
loVe u Putri..”

“Tapi, apa mungkin semua puisi-puisi selama ini itu dari Vino? Kalo memang iya, apa yang harus kulakukan? Tapi dalam hati ini, memang kuat mengarahkan kepada nama itu, Vino”, batinku terus mengira-ngira.

Sejenak, aku melupakan pertanyaan-pertanyaan dalam benakku tadi, sedikit membuat bingung memang, tetapi telah banyak juga menimbulkan rasa penasaran. “Hhmmh..”, hela napasku.

“Hei..! Kamu kenapa liatin aku gitu. Ada yang aneh ya?”, tanya Vino. Aku pun kaget saat terpegok melihat wajah Vino yang sedang menyantap makanannya, hanya untuk memastikan apakah benar dia si pengirim surat-surat itu. Yaa walaupun dengan hanya memperhatikan wajahnya saja, semua itu belum tentu terbukti.

“Eh, ituu.. Ada kotoran dibibir kamu”, aku pun refleks mengambil tissue dan membersihkannya. “Eh, maaf-maaf Vin”. “Aduuh.. Apa-apaan sih aku ini. Dasar bodoh”, batinku. Vino hanya tersenyum, “Gak apa-apa Put”.

Malam ini, mataku seakan susah untuk dipejamkan. Sementara hati dan pikiranku tertuju pada Vino dan surat-surat itu. Tapi, aku tak mau gegabah mempertanyakan atau melakukan hal-hal bodoh yang akan membuat Vino curiga. “Baiklah, aku akan tunggu”, pikirku.

Esok paginya, aku berangkat lebih awal, tanpa bersama Vino.

“Putrinya baru aja pergi Vin”, ujar mamaku. “Oh gitu ya tante. Yaudah tan. Permisi”, pamit Vino.
“Vino..”, sapaku. Namun, Vino tak membalas bahkan tak menoleh kearahku. “Kenapa dia? Apa dia marah padaku karena tadi pagi aku berangkat kekantor lebih awal? Padahal aku kan memang ada urusan. Siapa tau aku bisa bertemu dengan si pengirim surat-surat itu. Namun, semuanya nihil. Tapi kalaupun memang Vino marah padaku, itu memang salahku juga kenapa tak memberitahunya terlebih dulu”, hela panjang napasku.


Saat makan siang pun aku tak melihat Vino. “Jangan-jangan perkiraanku benar kalau dia itu marah padaku. Bagaimanapun caranya, aku harus minta maaf sama dia”, batinku.
Aku kembali kemeja kerjaku dengan pikiran yang sedikit tak tenang karena Vino, aku kembali menemukan secarik kertas biru.

“Aku mendapati hatiku t’lah utuh..
Bahkan sempurna..
Semua itu karena kamu, Putri..”


Aku makin bingung dengan semua kejadian yang kualami ini. Ingin ku tak memikirkannya, tapi tak bisa. Rasa penasaranku malah semakin besar.

Sejak kemarin ponsel Vino tak aktif. Entah apa yang membuatnya bersikap seperti itu terhadapku.

Esok paginya, aku bersepeda, seperti biasa setiap hari minggu, tetapi tanpa ditemani Vino. Namun, aku berharap smoga di taman aku bertemu dengannya.

Sampai diujung jalan rumahku sebelum menuju taman, aku mendapati potongan kelopak mawar yang tersebar dijalan, seakan menuntunku kesebuah tempat.

“Kenapa ada mawar sebanyak ini? Siapa yang meletakkannya ya? Semoga ini pertanda baik”, akupun mengikuti sang mawar disepanjang jalan.

Tiba-tiba, penglihatanku tertuju pada seseorang dengan sebuah sepeda disampingnya. Seperti Vino. “Iya. Ternyata itu memang Vino”, batinku.

Akupun meletakkan sepedaku dan menyapanya, “Vino..”. Dia pun menoleh, “Hai Put”, balasnya. “Kamu ngapain disini?”, tanyaku.


Kemudian Vino memegang kedua tanganku.

Dengan tatapan mata yang berbinar-binar. “Ya Tuhan. Tatapan itu”, batinku.
“Putri.. Puisi-puisi dan bunga mawar itu. Kamu tau kan? Itu aku..”, jelasnya. “Kamu?? Berarti cewek yang kamu ceritain ke aku kemarin itu..”, tanyaku tentang pernyataan Vino yang lalu. Vino pun mengangguk dan tersenyum, “Iya. Cewek itu kamu Putri”. Ternyata dugaanku yang sedikit ragu-ragu selama ini benar, “Aku merasa lega dan juga bahagia”, batinku.

“Maafin aku ya. Selama ini udah buat kamu penasaran”, ujarnya. “Gak apa-apa Vin. Sebelumnya aku juga udah ngira kalo semua ini tuh kerjaan kamu. Walaupun tadinya agak ragu. Habis kamunya sih jago banget aktingnya”, aku pun tersenyum dan memukulnya manja.

“Putri.. Aku mau kamu jadi pendamping hidup aku”, ucapnya. Aku pun tersenyum dan sedikit kaget, dan membalas pernyataannya, “Iya Vin. Aku juga mau kamu yang jadi pendamping hidup aku”.

“Terima kasih Tuhan. Semoga ini adalah pilihanMu yang terbaik untukku dan juga untuk Vino”, harapku.

Gif: tenor.com


Posting Komentar

2 Komentar

Haii! Berkomentarlah dengan bijak dan relevan ya. Silakan baca artikel lainnya dan tinggalkan jejakmu. Terima kasih!