Pagi itu, aku terburu berangkat ke kampus. Dengan keadaan mobilku yang kotor, belum sempat kumandikan, tapi aku tetap pergi, karena ada beberapa urusan yang harus segera ku selesaikan. Ini tentang hidup dan matiku. Ya, tugas akhir. Seharusnya tahun kemarin aku sudah harus lulus kuliah, tapi hanya karena sesuatu hal yang baru kusadari bahwa semua itu tak benar-benar penting. Ini lah yang namanya menyesal diakhir, pikirku.
Aku biasa dipanggil Ubay, padahal nama sebenar ku itu Bayu. Tapi entah dari mana panggilan itu datang. Aku ini anak tunggal yang terlahir dari keluarga pekerja keras, terlalu keras malah. Kedua orang tuaku selalu sibuk dengan bisnis-bisnisnya, sehingga aku pun tak terurus. Tapi ya sudahlah, itu dunia mereka, bukan aku. Mungkin hal itu juga yang membuat sifatku seperti ini, keras kepala dan cuek.
Karena takut terlambat, aku pun melaju dengan kencang. Sekiranya diperempatan jalan, tiba-tiba aku mengerem mendadak, “Astaga,” aku menabrak seorang anak berumur belasan tahun yang hendak menyeberang. Tak lama, seorang gadis dengan motornya pun berhenti mencoba menyelamatkan anak itu, “Eh.. Turun kamu!” bentak gadis itu. Aku pun turun dan membantunya menaikan anak itu ke dalam mobil lalu mengantarkannya kerumah sakit.
Sesampainya dirumah sakit, gadis itu memarahiku habis-habisan, “Kamu itu punya mata nggak sih?! Masa ada anak yang mau nyeberang kamu tabrak aja. Untung aja dia masih bisa diselamatin," ujarnya kesal.
“Memangnya kamu siapanya anak itu? Dia aja yang aku tabrak biasa-biasa aja,” ujarku santai.
“Kamu tuh ya,” sambung gadis itu dengan ekspresi wajah kesalnya.
Dokter pun keluar dari ruangan. "Gimana dokter?" tanya sang gadis.
“Syukurlah lukanya tidak begitu parah. Setidaknya lusa baru boleh pulang," jawab pak dokter.
“Terima kasih dok,” Ubay dan gadis itu pun menjawab serentak.
Aku pun beranjak pergi, “Kalo gitu aku pergi dulu ya. Semuanya udah bereskan, administrasinya juga sudah ku bayar,” lagi, aku menjelaskan santai.
“Yaudah. Inget! Jangan ngebut-ngebut lagi!” pesan sinis gadis itu.
"Siap!" jawabku tegas. "Cantik sih, tapi galak beneerr.." ucapku pelan ketika berpaling dari hadapannya.
Sesampainya dikampus, aku pun langsung menemui dosen pembimbingku. Namun sayang seribu sayang, beliau tak ada diruangannya. Tanpa ekspresi, aku pun bergegas pergi.
“Ubay!” teriak Boni, seorang teman baikku, karena kami begitu dekat, sampai-sampai dia pun juga ikut-ikutan belum menyelesaikan tugas akhirnya. “Yang namanya sahabat harus selalu kompak dong," itu yang dia katakan. yaa, setidaknya aku punya teman saat sidang nanti.
“Ada apa Bon? Kayak habis dikejar setan gitu,” tanyaku sambil mengangkat beban berat dalam tas ransel yang kubawa.
“Kamu dicariin Lila tuh dari tadi,” ujarnya.
“Astaga. Ada dimana dia?”
“Tadi sih aku lihat dia diparkiran.”
“Thanks Bon," aku bergegas menuju parkiran.
Aku lalu bertemu dengan Lila, dan disambut ekspresi wajah marahnya, sementara napasku terengah-engah, “Sorry sorry. Tadi aku habis nabrak..” namun, Lila langsung memotong penjelasanku.
“Duuh.. Udah udah udah, aku nggak mau denger penjelasan kamu lagi. Aku mau kita putus!” jawabnya kesal.
“Yaa..udah, kalau memang itu mau kamu," ujarku santai.
“Loh, kamu kok biasa aja gitu sih? Baay.. Bayuu..” respon Lila heran dan memanggil-manggilku kesal, berharap aku memohon-mohon kepadanya mungkin.
Dan dengan perasaan tak menyesal sedikitpun, aku berjalan santai tak menghiraukannya.
Lila itu pacarku (yang sekarang mantan). Sejak sebulan lalu kami berpacaran. Aku rasa dia lah orang yang paling lama bertahan dibandingkan pacar-pacarku sebelumnya. Yaa, bertahan karena materi dan selalu berpikir dangkal. Tetapi Lila berbeda, dia tak melihatku karena hal tersebut. Namun disisi lain dan yang paling aku tidak suka adalah sikapnya yang selalu membesar-besarkan masalah. Dan ini kali kelimanya dia memutuskanku hanya karena hal kecil, tapi selalu saja dia juga yang meminta ku kembali padanya. “Dasar wanita aneh”, pikirku.
Sebenarnya, aku hanya butuh perhatian. Namun, terkadang aku yang susah, sangat-sangat susah untuk membalas perhatian mereka. Mungkin karena sifatku yang terlalu cuek atau memang aku butuh seseorang yang memang tulus sayang padaku bukan hanya karena materi. Yaa, semoga saja kelak ada seorang wanita yang bisa menyadarkanku dari semua ketidakpastian hidupku ini, pikirku sadar.
Tugas akhirku ini berkaitan dengan photografi dan aku mengambil konsep tentang bagaimana kerasnya kehidupan anak-anak jalanan. Semoga kali ini aku bisa serius dan fokus, agar kuliahku juga bisa segera selesai.
“Bon, udah dapet belom anak jalanan yang mau kita wawancara?” tanyaku pada Boni.
“Belom ada Bay. Susah dapetinnya,” ujar Boni dengan hidungnya yang mengembang lalu mengempis itu, pertanda bahwa dia sedang berbohong.
"Boon.. Bon, itu hidung jangan ikut digedein deh, cukup badan kamu aja yang bikin aku engap ngelihatnya," timpalku sedikit meledeknya.
Boni malah cengar-cengir.
Aku sempat berpikir tentang anak yang kutabrak kemarin. Dari gaya-gayanya sepertinya dia itu anak jalanan. Mungkin saja dia bisa membantuku.
Aku segera mengajak Boni pergi kelokasi tempat ku menabrak anak itu. Namun, bukannya bertemu dengan anak itu, tapi aku malah bertemu dengan gadis yang bersamaku kemarin.
“Kamu? Ngapain kamu disini? Nabrak orang lagi? Hobi banget sih ngebut-ngebut dijalan,” tanyanya ketus dan menebak-nebak sok tahu.
Aku meliriknya, “Sembarangan. Aku kesini mau cari anak yang ku tabrak kemarin."
“Oh, tunggu aja. Bentar lagi juga dia dateng,” ujar gadis itu.
“Dari mana kamu tahu? Apa kamu ada urusan juga sama anak itu? Jangan-jangan kamu juga nabrak anak-anak sini?” tanyaku beruntun, penasaran.
“Enak aja! Aku kesini memang ada urusan sama anak-anak disini, tadinya sih untuk tugas akhirku aja, tapi aku nggak mau cuma gara-gara tugas akhir aku juga udahan perhatiin mereka. Aku mau ngumpulin anak-anak jalanan sekitar sini untuk ngajak mereka belajar, supaya mereka juga bisa dapat ilmu tanpa harus memikirkan biaya sekolah. Yaa dari pada mereka harus ngamen atau berkeliaran dijalan,” jelasnya panjang lebar.
“Benar juga pemikiran nih cewek. Ternyata masih ada ya gadis tulus seperti dia di dunia ini," batinku tersadar.
“Eh, kamu sendiri kenapa nyariin dia?” tanyanya mengagetkanku.
“Aku juga mau minta bantuannya untuk bahan tugas akhirku. Aku mau mencari objek foto sekaligus tanya-tanya tentang kehidupan mereka selama menjadi anak jalanan," aku juga jadi ikut menjelaskan maksud kedatanganku.
"Bukan mau mereka untuk jadi anak jalanan. Kalimat kamu itu salah," pungkas sang gadis.
Galaknya kumat lagi, "Iya iya maaf. Berarti, tujuan kita sama dong. Kalo gitu kita bareng aja ya. Aku juga nggak begitu paham daerah sini,” jelasku sedikit memberi alasan.
Gadis itu melirikku, melihat ku dari bawah sampai atas, seakan curiga, mungkin karena penampilanku yang sedikit urakan. “Tenang aja. Aku ini anak baik-baik kok. Cuma penampilan aja memang agak selengek-an,” seruku membela diri, seakan tahu apa yang sedang dia pikirkan.
Ia itu lalu berdehem terkejut, "Nggak kok, siapa juga yang mikir gitu," elaknya yang lalu memalingkan pandangannya itu.
Tak lama kemudian, anak itu pun datang dengan seorang temannya.
“Naik mobil aku aja ya," ajakku.
“Boleh deh," gadis itu pun langsung mengajak anak-anak tadi masuk ke mobil.
Boni yang sedari tadi berada di dalam mobil pun bertanya, “Lama banget kamu Bay, untung aku bawa camilan tadi. Eh, siapa nih Bay? Cewek ini mamanya mereka ya?” tanya Boni super heran.
"Eh, bukan-bukan.. Ini cewek yang aku ceritain kemarin, namanya.. Siapa nama kamu? Kok kita belum tahu nama ya," ucapku sembari garuk-garuk kepala.
"Ah, gimana sih kamu Bay. kenalin Boni, ini sahabat sejatiku, Bayu alias Ubay," samber Boni.
Gadis itu lalu tersenyum, " Sandra. Eh, ini Budi, dan Andi," lanjutnya juga memperkenalkan kedua anak yang akan membawa kami ke kawasan tempat tinggal mereka.
Sampailah kami ditempat permukiman anak-anak jalanan. Memprihatinkan memang, miris dan sangat tak terurus.
“Hei! Kenapa bengong gitu? Baru pertama kali lihat tempat yang kayak begini ya?” ledek Sandra.
"Ternyata masih ada ya tempat kayak gini dikota sebesar ini," responku jujur..
“Ya beginilah kehidupan mereka. Ekspresiku pertama kali ngelihatnya juga kayak kamu kok," sambungnya lagi.
Sebelum melakukan kegiatan, kami pun membersihkan tempat itu. Kemudian, Sandra mengajar anak-anak disana layaknya seorang guru disekolah. Sementara aku dan Boni mengambil beberapa objek disekitar permukiman itu, termasuk saat Sandra sedang mengajar.
Kurang lebih 4 jam sudah kami berada dipermukiman itu.
“Makasih ya, udah bantuin aku sama anak-anak tadi," ucap Sandra.
“Iya San, sama-sama. Kami juga makasih karena kamu udah mau bantuin aku dan Boni,” ujarku balik.
“San, bareng kami aja ya, entar biar dianterin pulang sama Ubay," samber Boni menawarkan.
Aku pun mengangguk berharap ia mau. “Boleh deh, tapi sampai depan kampus aja ya. Tadi ban motorku bocor, makanya aku tinggal dikampus. Nggak jauh kok,” jelas Sandra.
"Jauh juga nggak masalah lagi San," cetusku tanpa sadar, tiba-tiba Boni menyenggol lenganku dan berbisik, "Pengganti Lila nih, udaah embat aja," ya begitulah Boni, dia selalu tahu isi hatiku, eh..
Kami pun berjalan menuju mobilku diparkirkan.
Sesampainya dikampus Sandra dan sebelum dia turun dari mobilku, “Sandra, boleh aku tahu nomor handphone kamu?” tanyaku memberanikan diri.
Sandra berekspresi sedikit heran.
"Oh, ini biar gampang hubungi kamu nanti kalau ada apa-apa sama anak-anak," lanjutku pura-pura memberi alasan.
"Boleh," jawabnya tersenyum, "Langsung misscall aja ya."
“Makasih ya Ubay, Boni”, Sandra pun berlalu meninggalkan kami.
"Udah lah senyum-senyum sendirinya, entar ditangkap satpol PP lho," celetuk canda Boni.
"Ah resek kamu Bon."
Aku merasa lelah, makanya sesampainya dirumah, aku langsung merebahkan badanku diatas tempat tidur. Tak lama kemudian, aku pun melihat hasil jepretanku tadi. Namun tanpa sadar, ternyata aku lebih banyak memotret Sandra pada saat ia mengajar.
Aku kaget sendiri, “Apa-apaan ini. Kenapa yang kuambil gambar Sandra semua. Wah.. Kacau," pikirku.
“Tapi kalo dilihat-lihat sih, cantik juga ini anak ya, baik banget lagi. Jadi nggak nyesel deh ngambil fotonya segini banyak, haha.." seruku malu-malu.
Besok paginya sampai dikampus, tiba-tiba Lila mendatangiku. “Bayu, maafin aku ya karena kemarin marah-marah sama kamu," ujarnya. Namun, ku tak menghiraukannya.
Sesaat kemudian, ponselku berbunyi, “Halo, Ubay. Bisa tolong kamu dateng kepermukiman? Aku butuh bantuan kamu. Ada salah satu anak jatuh dari rumah pohon," Sandra menelponku dengan nada panik.
“Iya iya, aku kesana sekarang," jawabku ikut panik dan langsung bergegas menuju kesana.
Dari spion, kulihat Lila terdiam seperti menggeram. Bodo amat, batinku dan terus melaju.
“Untungnya anak itu masih bisa tertolong ya San," ujarku tenang.
"Iya Bay, ini kan berkat kamu juga, karena udah mau bantu bawa dia kerumah sakit," sambung Sandra.
Aku pun tersenyum merasa jadi super hero dadakan, “Ya nggak apa-apa San. Udah seharusnya kan kita saling bantu."
Tak lama kemudian, teman-teman dari anak itu pun datang. Namun diujung lorong, aku melihat Lila berjalan menuju kearahku, dengan wajahnya yang terlihat kesal, seakan-akan segera mendaratkan pukulan keras kewajahku. Ternyata dia mencoba mengikutiku sedari tadi.
“Jadi karena wanita ini kamu jadi sering lupa jemput aku," ujar Lila dengan melirik habis Sandra.
Sandra yang tak tahu apa-apa, bingung dengan kedatangan Lila.
"La, nggak perlu tunjuk-tunjuk juga, Sandra nggak salah apa-apa," kataku membela Sandra.
"Oh, jadi namanya Sandra. Eh, Bayu ini pacar aku ya, kamu jangan sekali-sekali deketin dia lagi," bentak Lila.
Aku tertawa kecil, "Wait wait wait.. La, mending kamu pulang aja ya, aku sama Sandra mau ngurusin banyak hal penting disini. Yuk San," aku lalu menarik pelan tangan Sandra.
"Loh, kok aku dicuekin sih..! Bay, Bayu!"
"Itu tadi pacar kamu ya?" tanya Sandra.
"Mantan. Dia selalu gitu memang, padahal berapa hari lalu bilang putus. Ya aku tegasin aja, kalau kemaren aku menyetujui pernyataannya, biar dia nggak ngejar-ngejar aku lagi," jelasku singkat.
Sandra tertawa, "Tapi nyatanya, dia masih ngejar-ngejar kamu kaan? Cinta mati tuh dia sama kamu," ledeknya.
"Bodo amat, nggak penting. Sekarang aku mau fokus sama TA aja. Titik!" semangatku seakan membara.
Sehabis menjemput Ali dari rumah sakit, aku, Sandra juga Boni, langsung mengantarnya ke permukiman anak-anak jalanan, karena keadaannya yang sudah membaik. Sekaligus aku, Sandra dan Boni ingin menanyakan beberapa pertanyaan kepada Ali dan teman-temannya untuk tugas akhir kami.
Ternyata banyak jawaban juga pernyataan-pernyataan dari mereka yang bahkan tak mungkin menjadikan mereka seperti sekarang ini. Predikat anak jalanan itu bahkan tak pantas untuk mereka sandang. Tapi, ini semua karena keadaan yang mau tak mau harus mereka jalani.
Misalnya Ali. Umurnya baru menginjak 12 tahun, bisa dibilang dulunya dia berasal dari keluarga yang berada. Namun, semenjak kedua orang tuanya berpisah diusianya 6 tahun, kemudian dia ikut bersama ayahnya. Dan saat dia berumur 9 tahun, dia lalu dititipkan ke panti asuhan dengan alasan ayahnya tak sanggup lagi membiayai sekolahnya. Dia lalu melarikan diri dari panti tersebut, dikarenakan keadaan di panti yang cukup keras dan tak layak huni. Barulah itu dia bertemu dengan teman-teman yang senasib dengannya ditempat ini. Lalu mereka membuat permukiman ini sampai sekarang, tanpa ada pengawasan dari siapapun. Ada sekitar 15 orang dan mereka berumur sekitar 9 sampai 15 tahun.
Dengan keadaan serba pas-pasan, namun, mereka tak pernah melakukan hal-hal yang tidak terpuji, seperti mencuri atau hal lain yang negatif. Mereka menggantungkan nasib mereka hanya sebagai pengamen, baik ditraffict light atau ditempat-tempat makan dipinggir jalan. Yang paling penting dan merupakan sebuah nilai plus untuk mereka adalah selalu mengutamakan kebersamaan.
Satu harian sudah kami berada dipermukiman itu.
“Cukup sedih mendengar cerita si Ali tadi ya Bay, Bon," ujar Sandra.
Boni mengangguk.
“Iya. Kebanyakan dari mereka diabaikan oleh orang tuanya dan lebih memilih untuk hidup disini dari pada harus disiksa dipanti yang seharusnya tempat itu menjadi perlindungan buat mereka," sambungku.
Selesai makan bersama anak-anak itu, kami bertiga lalu pamit untuk pulang. Berharap besok bisa kembali datang untuk tetap mendampingi mereka, membantu memberikan pendidikan yang cukup untuk bekal mereka.
Besok paginya, aku dan Boni sudah berada dipermukiman itu, namun, sesuatu telah terjadi. Boni lalu mengambil ponselku dan mencoba menelpon Sandra.
"Halo San, ini Boni. Aku lagi ada dipermukiman bareng Ubay, tapi dia tiba-tiba jatuh, mending kamu buruan kesini deh San. Aku tunggu," jelas singkat Boni dan lalu menutup teleponnya.
Sandra pun datang dengan segera, “Bay.. Bonii.. Alii.. Kalian dimana??" Sandra yang datang namun tanpa ada satupun yang menyambutnya.
"Sandra," Aku lalu muncul dengan tiba-tiba, "Sorry San, kalau aku ngagetin kamu."
"Ada apa sih ini Bay? Anak-anak pada kemana? Terus kamu mau ngapain? Tadi kata Boni kamu.. Eh, Jangan macem-macem ya kamu Bay..!" ekspresi panik Sandra sangat memancar dari wajah cantiknya itu.
"Memangnya aku seburuk itu dipikiran kamu. Sandra, ada hal penting yang mau aku sampaikan ke kamu. Dari awal kita ketemu, jujur, aku ngerasa kamu galak banget, makanya aku santai waktu ada kejadian itu. Tapi kedua kali kita ketemu, aku ngerasa seperti habis pingsan dalam waktu yang lama. Aku ngerasa hidup aku selama ini sia-sia. Makanya mungkin aku nggak lulus-lulus sampai sekarang. Tapi kali ini, ada yang benar-benar memicu semangatku untuk menjadi manusia yang lebih baik. Alasan itu adalah kamu San. Kamu yang dengan tulus membantu anak-anak tak diperhatikan ini agar lebih berguna dimasa datang."
Terlihat wajah bingung Sandra, namun ia tetap membubuhkan kebingungannya itu dengan senyuman.
"Sandra, maukah kamu jadi pacarku? Menjadi pengingatku dikala aku butuh perhatian lebih, dan aku akan mencoba memperhatikan lebih kamu," entah apa yang barusan aku ucap padanya itu.
"Bay, aku juga dulunya nggak paham tentang kehidupan sisi lain dipinggiran kota besar ini. Setidaknya nanti aku bakal punya teman hidup untuk melakukan banyak hal positif untuk ke depannya. Aku terima kamu Bay. Aku mau jadi pacar kamu," begitulah cuap-cuap manis Sandra yang kudengar sangat tulus.
Saat aku kegirangan mendengar diterimanya pernyataanku, Boni dan yang lain ikut bersorak dan sontak hal itu membuat aku dan Sandra terkejut.
Dan akhirnya aku tahu, bahwa ketulusan yang Sandra miliki tak hanya mendarah daging dalam dirinya, tetapi juga menularkannya kepadaku. Selagi kita mampu untuk membantu, lakukanlah semampumu, tanpa ada rasa gengsi yang menghantuimu.
~ s e l e s a i ~
Gif: tenor.com
0 Komentar
Haii! Berkomentarlah dengan bijak dan relevan ya. Silakan baca artikel lainnya dan tinggalkan jejakmu. Terima kasih!