Saya Fatimah. Saya ini orang kampung. Tinggal di kampung yang mayoritas penduduknya bekerja sebagai petani padi dan jagung. Termasuk ibu dan bapak saya. Tapi, mereka nggak mau kalau saya jadi petani seperti mereka. Setidaknya saya harus bisa bekerja yang lebih dari hanya seorang petani. Jadi distributor beras misalnya. Ya pokoknya bukan petani.
Nggak sampai di situ saja. Bapak saya juga pernah bilang, kalau cari jodoh itu minimal yang tamatannya SMA. Jangan kayak bapak, cuma tamatan SD. "Lah, bukannya ibu tamatan SMP ya pak ?" aku pun heran. "Ya itu, berarti ibumu kecelek (tertipu) sama tampang bapak yang gagah perkasa ini," begitulah jawaban bapak. Aku jadi ikut tertawa, sedikit terpaksa.
Satu lagi nasehat yang diberikan bapak kepadaku, "Kalau cari jodoh yang bagus agamanya. Kalau agamanya saja sudah bagus, pastilah akhlaknya juga akan bagus," aku manggut-manggut.
Tersadar, bahwa umurku sudah masuk ke angka dua puluh lima tahun. Dan sudah pula menjadi satu-satunya distributor beras di kampung. "Kini saatnya saya akan memperkenalkan kepada seluruh lelaki yang sudah cukup umur, matang, mapan, dan gagah seperti saya, untuk menjadikan anak saya sebagai pasangan hidupnya," demikian kata bapak saat berdiri di mimbar sebagai penceramah sholat Jumat di masjid kampung.
"Eh, Fatimah, siap-siap aja kamu mau di jodohin sama laki-laki pilihan bapak kamu," kata salah seorang ibu yang tinggal dekat rumahku yang sering sent kiri tapi beloknya ke kanan. Dasar ibu-ibu.
Sontakku terkejut. Bapak ini ada-ada saja. "Sudahlah, ikuti saja apa kata bapakmu, doakan semoga pilihannya yang terbaik buat kamu," ibuku layaknya sebuah obat penenang, yang selalu menenangkanku saat terjebak di situasi seperti ini.
"Fatimah, kamu dandan yang rapi dan cantik ya. Nanti akan ada tiga kandidat yang datang untuk bapak seleksi dan jadi calon suami kamu," bapak sesuka hatinya saja bikin rencana, batinku.
Selesai sholat Isya, bapak mengingatkanku untuk segera berpakaian rapi dan berdandan. Padahal bukan untuk di pertemukan dengan lelaki pilihannya nanti. "Ya cuma simbolis saja," kata ibu melanjutkan.
Datanglah dengan sekaligus tiga kandidat yang akan bapak seleksi.
"Assalamu'alaikum.." serentak mereka mengucap salam, lalu bersalaman mencium tangan bapak, yang mungkin bau sambal terasi sisa makan malam tadi.
"Silakan perkenalkan diri satu persatu ya. Di mulai dari sudut sana," sudut, karena duduknya paling ujung dekat tangga teras.
Aku dan ibu hanya bisa menyimak dari ruang tamu, mengintip-ngintip sedikit dari samar-samar dalaman kain gorden warna emas yang belum pernah di cuci lagi sejak lebaran setahun lalu.
"Nama saya Nassar, tapi jangan suruh saya nyanyi ya pak, karena saya bukan penyanyi dangdut," serunya bercanda.
Aku dan ibu tertawa cekikikan tapi santuy.
"Haha.. Lucu juga ya kamu. Saya nggak akan menyuruh kamu bernyanyi. Berhubung nama kamu Nassar, saya akan uji kamu dengan membaca surat An-Nasr, silakan," bapak mulai menguji peserta pertama.
Mulailah Nassar membaca. Bapak manggut-manggut meresapi harakat demi harakat.
Aku dan ibu juga ikut memperhatikan, tapi bukan kepada Nassar, melainkan peserta yang duduknya paling dekat dengan bapak, "Kok wajahnya pucat gitu ya bu, jangan-jangan dia lagi sakit.. Atau.. Takut karena bapak wajahnya seram ?" celetukku. "Huss! Ibu juga berpikiran sama kayak kamu. Kita tunggu saja sampai gilirannya tiba," timpal ibu.
"Alhamdulillah, Masya Allah, bagus. Harakatnya pas, tapi belum tentu kamu yang terpilih. Yak, lanjut kamu yang di tengah," sambung bapak.
"Saya Rahman.. Saya pasti disuruh baca surat Ar-Rahman kan pak ?" katanya sok tahu, tapi memang benar sih.
"Haha.. Saya suka gaya kamu. Ya, silakan mulai membacanya," pinta bapak.
Aku dan ibu lagi-lagi cekikikan santuy.
"Bu, itu yang di sebelah bapak kok wajahnya makin pucat ya bu ?" aku mulai mengkhawatirkannya.
"Eh, iya lho. Kok ibu jadi takut ya," kata ibu sambil memalingkan pandangannya.
"Masya Allah, bagus. Tapi ada keselip sedikit tadi ya.. Tidak apa-apa, mungkin kamu gerogi. Yang terakhir, silakan perkenalkan diri.." saat bapak menyuruhnya memperkenalkan diri, tiba-tiba dia jatuh pingsan.
"Loh loh, kenapa ini ?" bapak bertanya panik.
Aku dan ibu jadi ikut nimbrung keluar teras.
"Dari tadi aku sama ibu lihat wajahnya sudah pucat pak. Dari awal bapak suruh Nassar baca surat, eh lama kelamaan pucatnya makin menjadi," jelasku pada bapak.
"Eh, kalian berdua tahu siapa nama pemuda ini ?" tanya bapak kepada dua pemuda itu.
Mereka saling pandang, dan serentak menjawab, "Namanya Imran."
Sontak kami yang berada di teras itu saling lirik dan sedikit menahan tawa. Pantas saja sedari tadi wajahnya pucat, takut disuruh bapak baca surat Ali'Imran ternyata, haha..
4 Komentar
Anjer disuruh baca surat ali imran dong. :)))
BalasHapusJelasss :)))
HapusBusyet... Baca surat ali imran, pantes aja pingsan.
BalasHapusHaha.. iyaa..
HapusHaii! Berkomentarlah dengan bijak dan relevan ya. Silakan baca artikel lainnya dan tinggalkan jejakmu. Terima kasih!