Tepat jam 9 pagi ini, aku membuka toko seperti biasa. Sampai pada suatu ketika saat aku sedang membereskan meja kasir, aku melihat seorang anak perempuan berseragam sekolah merah putih berambut panjang yang dikepang dua, sedang melihat bunga - bunga yang aku pajang di etalase tokoku.
Aku masih terus memperhatikannya. Sangat jelas teringat, wajahnya tersenyum bahagia saat pandangannya mengamati satu titik dalam etalaseku. Tapi secara perlahan ekspresinya berubah. Terlihat Ia menghela napas panjang, tanda kecewa, mungkin. Kemudian Ia berlalu dengan berlari, sehingga aku tak sempat mengejarnya.
Hari menjelang siang. Aku sangat bersyukur, karena banyak pengunjung yang datang. Aku pun beristirahat sejenak dan hendak menyantap bekal makan siang yang aku bawa dari rumah. Aku sangat melahap dengan cepat menu sederhana itu. Sebelum ada pengunjung yang datang. Namun, lagi - lagi aku melihat keberadaan anak perempuan itu, aku rasa usianya sekitar 11 tahun. Dan lagi - lagi pula aku tak bisa menghampirinya, karena kebetulan ada pengunjung yang datang.
Baca juga Cerpen: Donat dan Susu
Sudah 2 hari ini aku melihatnya selalu menyempatkan diri untuk mampir melihat etalase tokoku. Rasa penasaranku semakin menjadi. Siang ini, aku berencana menunggunya datang dan ingin bertanya kepadanya. Aku menutup toko sementara waktu, hanya untuk menghampiri anak perempuan itu.
Sekitar 10 menit aku menunggunya, dan akhirnya Ia datang.
"Halo adek. Nama kamu siapa? Aku Risa," dengan posisi berlutut, aku mencoba berkenalan dengannya.
"Aku Lily," aku sedikit kaget saat Ia meraih tanganku hendak bersalaman dan mencium punggung tanganku.
Aku tertawa kecil, "Lily, kamu sekolah dimana? Tiap hari aku lihat kamu lewat sini," aku bertanya lagi sambil mengajaknya duduk di sebuah bangku yang ada di depan tokoku.
"Rumahku diujung jalan itu dan sekolahku berada disana," jawabnya polos.
"Umm... Lily, kamu suka bunga ya?" perlahan aku bertanya lagi.
"Bukan aku sih kak, tapi Ibu. Ibu suka bunga lily, makanya Ibu menamaiku Lily. Kata Ibu, bunga lily itu cantik, warna - warni, tapi Ibu paling suka yang warna putih, karena bunga Lily putih melambangkan kesucian, ketulusan, kemuliaan, pengabdian, rasa simpatik, dan juga sebagai simbol kemurnian," jelasnya sambil tersenyum hangat.
Aku terkesima dengan apa yang di jelaskannya itu, "Waah... Ibu kamu tau banyak ya tentang bunga lily. Kapan - kapan boleh dong kenalin aku sama Ibu kamu. Nanti aku bawain banyak bunga lily untuk Ibu kamu. Boleh kan?" pintaku berharap.
"Boleh kak. Sekarang juga bisa. Aku bakal bawa kakak ketemu sama Ibu," ajak Lily, tentu saja dengan senang hati aku menerima ajakannya, dan lalu beranjak mengambil beberapa tangkai bunga lily dari dalam toko.
Aku pun memboncengnya dengan motorku. Aku sedikit heran, padahal Ia bilang sekolahnya tak terlalu jauh dari rumah. Tapi kenapa dengan motor memakan waktu 10 menit lebih lama? Aku akan bertanya setelah sampai nanti.
"Udah sampai kak. Ibu ada disini," aku sangat amat terkejut saat Lily memintaku berhenti di sebuah pemakaman.
Aku jadi mengerti, kenapa Ia sering mampir ke tokoku, karena Ia melihat bunga lily, dan hal itu mengingatkannya pada Ibunya yang telah meninggal dunia.
"Lily, kenapa kamu nggak bilang... Duh, aku jadi nggak enak sama kamu. Maaf ya," ucapku pada Lily.
"Maaf juga ya kak. Karena aku nggak mau mengucapkan kata itu," Ia lalu tertunduk menangis, "Ibu sakit, dan baru 3 hari ini meninggalkanku," lanjutnya dan aku langsung memeluknya erat.
"Ayo, kasih bunga sama Ibu. Ibu pasti senang deh lihat kamu datang bawain bunga kesukaannya," ajakku, dan tanpa sadar ikut meneteskan air mata.
"Makasih ya kak," Ia mengangguk dan kami berjalan menuju pusara Ibunya.
"Ohya Ly, Ayah kamu...?" aku sedikit tak enak hati menanyakan Ayahnya.
"Ayah kerja sebagai kuli bangunan kak. Tapi Ayah adalah orang yang gigih dan punya keinginan besar untuk bisa menyekolahkanku setinggi - tingginya. Makanya aku nggak mau ngecewain Ayah, sama Ibu juga," sekali lagi aku terenyuh mendengar gadis kecil ini berucap.
"Baru kali ini aku lihat ada anak kecil kayak kamu, benar - benar bisa menghargai pengorbanan orang tua. Aku jadi malu sendiri, karena masih suka nggak dengarin apa kata orang tua," dadaku terasa sesak karena sedikit menahan tangis.
Sepulang dari makam, aku mengajak Lily masuk ke toko dan mengajaknya duduk di sofa, aku bertanya padanya, "Lily, kamu mau nggak kalau setiap hari kasih bunga lily sama Ibu?"
"Mau sih kak. Tapi aku harus nabung dulu buat beli bunganya tiap hari," ucap Lily sedikit berkecil hati.
Aku lalu memberinya tawaran, "Gini aja deh, uang yang kamu tabung, disimpan aja sampai banyak. Tapi kamu harus janji, setiap pulang sekolah harus mampir kesini, karena aku mau kasih bunga lily-nya secara cuma - cuma alias gratis, gimana?"
"Duh, jangan deh kak. Aku nanti bingung mau balasnya gimana sama kakak," wajah cemasnya terlihat sangat polos.
Aku tertawa kecil, "Lily... Aku nggak mengharapkan imbalan apapun dari kamu. Aku cuma mau lihat kamu senang karena udah buat senang Ibu kamu. Anggap aja ini sebagai hadiah dari Allah karena kamu udah jadi anak yang sangat amat baik," ungkapku tulus.
Mata Lily mulai berkaca - kaca, "Semoga Allah membalas semua kebaikan kak Risa ya. Makasih banyak kak," Ia lalu memelukku dan aku mencoba menahan haru ini.
Semoga cerita ini bisa memberikan pelajaran, bahwa jangan sekali - sekali meremehkan pengorbanan orang tua kita. Hargailah mereka dengan berusaha menjadi anak yang super pengertian dan bijak. Itulah cara paling sederhana untuk membalas kasih sayang mereka, walaupun sebenarnya kasih sayang mereka tak bisa di bayar dengan apapun.
Semoga Allah selalu melindungi dan memberikan berkahNya kepada keluarga kita, aamiin ❤
0 Komentar
Haii! Berkomentarlah dengan bijak dan relevan ya. Silakan baca artikel lainnya dan tinggalkan jejakmu. Terima kasih!