“Kamu
inget gak hari ini hari apa?”, tanya Via dengan tatapan mata tajamnya.
“Ya
ingetlah Vi. Hari ini kan hari Jumat. Masa kayak begituan aja aku gak inget”,
jawabku polos.
“Aduuh.. Bukan
ituu. Maksud aku, kamu tau gak kenapa hari ini aku ngajak kamu ketemuan
disini?”, tanyanya lagi.
“Kalau
menurut aku sih karna hari ini hari Jumat, jadinya kamu ngajakin..”, belum lagi
tuntas aku berbicara, tapi sudah dipotong oleh Via.
“Iiih..
Becanda mulu kamu cung. Males ah”, serunya sambil membuang arah matanya kearah
lain.
“Hehe.. Gitu
aja ngambek. Ini hari kan 5 tahunan kita sahabatan Vi. Kebangetan deh kalau akunya
gak inget”, jelasku yang lalu mencubit pipi Via.
“Naah..
Gitu dong. Kan akunya jadi seneng, hehe”, wajah manyunnya pun seketika berubah
menjadi senyuman yang super manis. “Tapi, kalau tahun ini kita gak tukeran
kado, gak apa-apa kan Nu?”, lanjutnya.
“Ya gak apa-apa
Vi. Yang terpenting dari hanya sebuah kado itu adalah aku masih bisa barengan
terus sama kamu”, ujarku dan lalu mengenggam tangan mungilnya.
Dan lalu
terlihat jelas senyum manisnya, “Tapi, aku mau kamu janji sama aku Nu”, ujarnya
serius.
“Apapun
itu, akan aku lakuin buat kamu Viaa”, kataku yang juga serius.
Via lagi-lagi
tersenyum dan melanjutkan perkataannya, “Besok, lusa, atau kapanpun itu, kalau
aku gak bisa bareng kamu lagi, kamu janji ya gak bakal sedih atau..”, jelasnya.
Namun, aku lalu memotong omongannya.
“Kamu itu
lagi ngantuk ya Vi? Omongannya jadi ngawur gitu”, ujarku yang sangat tak ingin sedikitpun
memikirkan tentang apa-apa bahkan hal buruk sekalipun.
“Ranu.. Aku serius”. “Via.. Aku
juga serius”.
“…”, hening.
“Sepertinya ada yang ia
sembunyikan dariku. Aah, dia tak mungkin seperti itu”, batinku.
“Kita pulang ya. Kamu itu pasti
udah ngantuk, kecapean”, ajakku yang lalu menarik tangan Via.
“Nu.. Aku belum selesai ngomong
loh”.
“Udah ayo”, ajakku paksa dan
berharap tak akan pernah mendengar lagi apa yang ia katakan tadi.
***
Ditengah
perjalanan pegangan tangan Via semakin erat memeluk tubuhku. Aku lalu memegang
tangannya yang terasa sangat dingin.
“Kamu gak
apa-apa Vi? Tangan kamu dingin banget”, teriakku.
“…”, Via
tak menjawabku.
Sampailah
kami didepan rumah Via.
“Udah
sampai ya cung”.
“Kamu gak
apa-apa kan Vi?”, kataku sambil memegang kedua pipinya yang masih terasa
dingin.
“Eeeh..
Aku gak kenapa-napa kok. Aku tuh tadi ketiduran. Makanya aku peluk kamu kenceng
biar gak jatoh, hehe”, jelas Via yang melegakan perasaan cemasku.
Spontan,
aku pun mencubit pipinya.
Dan Om
Gusti lalu membuka pintu.
“Om. Ini
anaknya udah saya anter pulang dengan selamat, hehe”.
“Iya iya.
Ayo Via masuk. Kamu langsung pulang ya Nu. Hati-hati dijalan”, ujar Om Gusti
dengan suara ngebass-nya.
“Iya Om.
Assalamu’alaikum”. “Wa’alaikumsalam”, jawab serentak Via dan Om Gusti.
***
Belum
sempat ku memarkirkan motor matic-ku didepan kosan, ponsel-ku kemudian bergetar.
“Om Gusti.
Ada apa Om?”.
“Nak
Ranu. Tolong balik kerumah Om ya. Via baru saja tak sadarkan diri”.
“Astaghfirullah,
iya Om, saya segera kesana”, jawabku dan lalu bergegas menuju rumah Via.
Perasaanku
cemas tak karuan. Berharap, bahkan sangat berharap tak terjadi apa-apa pada
Via.
Melihat
keadaan Via yang semakin memburuk, bahkan wajahnya sangat pucat, aku dan Om Gusti langsung membawa Via kerumah sakit.
***
“Via
sakit apa Om?”, tanyaku benar-benar ingin tahu.
“Sebenarnya
Via sudah lama mengidap leukimia, tapi ia sengaja tidak ingin kamu
mengetahuinya. Maafin Om ya nak Ranu”, jelas Om Gusti.
“Ya
Tuhan. Ternyata benar yang aku rasakan. Memang ada sesuatu yang Via sembunyikan
dariku”, batinku.
Aku
benar-benar kaget setengah mati, namun aku tetap tenang dihadapan Om Gusti.
“Iya Om,
saya ngerti kenapa Via gak mau cerita tentang penyakitnya ini. semoga saja dia
kuat ya Om”.
Om Gusti
pun mengajakku untuk duduk tepat diruangan dimana Via dirawat.
Baca juga: Lifestyle Blogger Medan
“Via itu
persis seperti mamanya. Sangat kuat ketika menghadapi penyakit yang sama dengan
Via. Tapi ternyata Tuhan berkata lain, mama Via lalu pergi untuk selamanya. Dan
sejak saat itu Via jadi sering murung, karna hari-harinya terasa sepi tanpa
kehadiran mamanya. Tapi 5 tahun terakhir ini keceriaannya kembali setelah
kehadiran kamu Ranu. Om merasa sangat berterima kasih sama kamu”, cerita Om
Gusti padaku, dan membuat dadaku sangat-sangat terasa sesak.
“Iya Om. Saya
juga sangat bersyukur bisa mengenal sosok Via dan juga Om”.
***
“Mancung..”.
Terdengar
panggilan lirih namaku.
“Syukurlah,
kamu sudah sadar sayang”, kataku sambil membelai lembut rambutnya.
Dan dalam
genggaman tanganku aku tengah merasakan gerakan tangan Via.
“Lama
banget kamu tidurnya, aku jadi gak punya temen ngobrol kan”, candaku dan
berhasil membuat Via tersenyum untuk pertama kalinya setelah terbangun dari
tidur panjangnya.
“Nu..
Makasih banyak ya, karna sampai detik ini kamu masih setia nemenin aku, selalu ada
disamping aku”, ucapnya dengan air mata yang meluncur cepat sambil menatapku
dalam.
“Aku kan
tau kamunya itu penakut, makanya aku terus nemenin kamu disini”, ujarku dengan
masih dibumbui bercandaan agar ia tetap tersenyum.
Baca juga: Travel Blogger Medan
Dan benar,
lagi-lagi ia tersenyum, bahkan sangat manis.
“Nu..
Kamu inget gak sama janji yang pernah aku ucapin waktu 5 tahunan persahabatan
kita? Kamu kan belum jawab Nu”, tanya Via dengan tatapannya yang masih terasa
dalam menatapku.
“…”, aku terdiam.
Disamping
Via, Om Gusti juga tengah meneteskan air matanya. Namun, sepertinya beliau juga
sudah mengikhlaskan kepergian putri semata wayangnya itu.
“Nu..”. “Iya
Vi. Aku inget, inget banget malah. Tapi aku..”, tangkas Via memotong omonganku, “Aku mohon Nu, berjanjilah”, kata Via yang sedikit membentakku.
Baca juga: Food Blogger Medan
Dadaku makin
terasa sesak, “Ya Tuhan.. Jika Engkau lebih sayang Via, jagalah dia. Aku tak
ingin melihat dia merasakan hal yang lebih sakit dari perpisahan ini dan aku,
ikhlas”, dalam hatiku berdoa dan mataku yang sedari tadi berkaca-kaca akhirnya mulai
meluncurkan air mata.
“Iya Vi,
aku janji gak bakal sedih. Aku..”, namun mesin pendeteksi jantungnya sudah membentuk
garis lurus.
Aku lemas
dan melanjutkan ucapanku, “Aku sayang kamu selamanya Via. Selamat jalan. Semoga
kamu diterima dan tenang disisi-Nya”.
*end*
7 Komentar
nice story neng..
BalasHapusteringat sesuatu 6 tahun yang lalu,, :D
hehe..
BalasHapusmaaf telah mengingatkan :)
makasih akang..
Suatu hari nanti semoga waktu benar-benar akan mengajarkan kita memahami bagaimana cara yang tepat untuk menggenapkan hari
BalasHapusDengan menepi di ujung ruang, mengartikan aksara diam-diam, menulis tentang senja dan hujan
Menenun mimpi yang dikira mereka naif, lagi semu
Jika tiba saatnya nanti, aku tak akan menyesal meski berada di antara kejatuhanku
Aku bisa tersenyum ke arahmu
Sahabatku...
titip puisi buat ranu ya ky
BalasHapuswaw..
BalasHapuspuisi yg bagus bit. iya, ntr disampein ke ranu, hoho. terimakasih ubit.
letak diblog gih.
puisinya luar biasa mba
BalasHapusPuisi untuk mas Bay donk, buatin ��
BalasHapusHaii! Berkomentarlah dengan bijak dan relevan ya. Silakan baca artikel lainnya dan tinggalkan jejakmu. Terima kasih!